Senin, 16 Maret 2009
Peristiwa Lampung, Percik Api di Talangsari
Sebuah surat tiba di hari senja. Surat yang dikirim tertanggal 1 Februari 1989 itu bertanda tangan dari Kepala Dukuh Karangsari. Ditujukan kepada Komandan Koramil (Danramil) Way TePara, Kapten Soetiman, yang menyatakan bahwa di dukuhnya ada orang-orang yang melakukan kegiatan mencurigakan. Yang disebut sebagai orang-orang itu adalah Warsidi dan kelompok pengajian yang menamakan diri sebagai Komando Mujahidin Fisabilillah, berlokasi di Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Lampung Tengah.
Oleh karenanya pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Berangkatlah sebuah rombongan dari Kantor Camat Way Jepara, menuju kompleks kediaman Anwar. Dipimpin oleh May. Sinaga memimpin, Kepala Staf Kodim Lampung Tengah. Rombongan besar terdiri dari Kapten Soetiman, Camat Zulkifli Malik, Kapolsek Way Jepara Lettu (Pol.) Dulbadar, Kepala Desa Rajabasa Lama Amir Puspamega, serta sejumlah anggota Koramil dan hansip. Seluruhnya berjumlah sekitar 20 orang.
Terjadi kesalahpahaman di antara dua kelompok yang menyulut bentrokan. Kedatangan Kapten Soetiman disambut dengan hujan panah dan perlawanan golok. Dalam bentrokan tersebut Kapten Soetiman tewas.
Tewasnya Kapten Soetiman membuat Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung Kolonel AM Hendropriyono mengambil tindakan terhadap kelompok Warsidi. Sehingga pada 7 Februari 1989, 3 peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob menyerbu ke Cihideung, pusat gerakan. Menjelang subuh keadaan sudah dikuasai oleh ABRI.
Menurut data Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), tim investigasi dan advokasi korban peristiwa Talangsari, setidaknya 246 penduduk sipil tewas dalam bentrokan tersebut. Sementara menurut Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut 47 korban dapat diidentifikasi jenazahnya, dan 88 lainnya dinyatakan hilang. Jumlah yang sesungguhnya masih misterius. Menurut buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Lampung, terbitan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan dan Sijado, korban berjumlah 300 orang.
Ratusan anak buah dan pengikut Warsidi ditangkap. Sampai kini para korban peristiwa Talangsari masih hidup dalam stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Komunitas Antipemerintah atau Islam PKI. Mereka terus menanggung beban sosial di masyarakat, dan tidak mendapatkan hak sebagai warga negara.
Siapakah sesungguhnya kelompok Jemaah Warsidi tersebut? Di sebut-sebut keompok pengajian itu banyak mengkritisi pemerintahan Orde Baru yang dinilai gagal menyejahterakan rakyat. Mereka juga mengecam asas tunggal Pancasila, yang mereka nilai sebagai biang kemelaratan rakyat Indonesia. Jemaah Warsidi mengecam pemerintah yang gagal menyejahterakan rakyat dan gagal menciptakan keadilan, konomi hanya dikuasai kaum elite yang dekat dengan kekuasaan. Jemaah Warsidi kemudian menyimpulkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah produk gagal.
Menanggapi peristiwa Talangsari berdarah tersebut Presiden Soeharto seperti disampaikan Ketua MUI Hasan Basri, seusai menghadap Kepala Negara di Bina Graha mengatakan, “janganlah karena perbuatan sekelonmpok kecil orang, merusak nama baik umat Islam yang besar jumlahnya di Indonesia"
Apapun pertumpahan darah di antara sesama pemilik negeri ini sungguh sangat mahal harganya. Dugaan terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat hingga kini juga masih tetap misteri. Korban penyerbuan aparat keamanan terhadap kelompok Warsidi pun hingga kini terpecah dalam dua kelompok. Satu kelompok yang menamakan dirinya Korban Kekerasan Militer di Lampung (Koramil) menuntut agar Komnas HAM menyelesaikan secara hukum kasus pelanggaran berat HAM pada kasus tersebut. Kelompok lainnya, yang menamakan diri Forum Persaudaraan Antar Umat (Format) dan Gerakan Ishlah Nasional (GIN), menuntut Komnas membiarkan mereka menyelesaikan persoalan melalui pendekatan kekeluargaan dengan para pelakunya (berbagai sumber).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
58 komentar:
Indonesia sama saudara aja ga rukun!aneh2
kalo jaman orba memang berat, mau pinter dikit malah disikat, kalo jaman sekarang juga sepertinya mau balik ke masa itu lagi, tapi masih malu-malu...
kalau dulu Orde Baru tidak mentolerir perbedaan pendapat, tapi secara ekonomi lebih baik daripada sekarang....
mengerikan sekali ...
serem banget yah....
Ternyata ada ya kejadian seperti itu
Perasaan sudah comment di sini, apa aku yg lupa atau nunggu disetujui ya.
Intinya:
Kita2 malah sudah lupa pada peristiwa besar di Lampung itu...
Ada dugaan terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat pada saat kejadian itu, namun seperti biasa kasus-kasus seperti itu selalu berakhir dengan tanpa akhir
ngeri juga ya....
itu fotonya siapa ya? kasihan banget ...
Bila hukum bagi pelaku pelanggar HAM tidak ditegakkan, peluang terjadinya kejahatan HAM seperti pada masa lalu akan mudah terulang
wah, salam kenal mas...
ini sandra dewi palsu ya?
Bukankah sudah biasa bahwa suara2 kecil dan nggak nyaring selalu terbungkam?
Pernah berfikir kenapa indonesia menjadi negara buruh....?
Sungguh tragis... Memory kelam bangsa Indonesia yang terus terbayang di pikiran masyarakat Bangsa Indonesi...
kisah suram di ahir 80an nih ya...
Hmmm...mereka salah satu korban keganasan orde baru...
Kesimpulan yang tepat
indonesia ini penuh misteri..
dan kita tak pernah tau sejarah yang sebenarnya
Wow ternyata sudah bagian dari sejarah kalau orang kita agak susah akur ...bener gak sih komentarnya
saya penggemar sejarah,, tapi belum tau kalo sejarah bisa sedetil inih
sungguh tidak terduga....
ketika kita hidup di zaman represif, pasti akan muncul perlawanan2 dari arus bawah. meski ditekan dan ditindas, suatu ketika akan muncul perlawanan juga, semoga peristiwa lampung bisa menjadi pembelajaran buat kita semua.
Kelompok Warsidi mungkin salah, tetapi bagaimanapun penanganan yang represif dari aparat juga tidak benar, sebenarnya kita masih saudara, tak ada gunanya pertumpahan darah di antara sesama
aparat selalu menggunakan cara2 hasil pemikiran otak yang ada dikepalan tangan. kalo ketahuan yang terjadi jejak dihilangkan dengan menghilangkan yang lain.
Setuju, seharusnya mereka didekati dan bukan diperangi, mereka diajak berbicara dan bukan berkelahi... cara-cara kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, hanya akan menyuburkan api dendam yang tidak berkesudahan ...
kuwi potomu dewe po MR ?!
kenapaya sesama manusia suka membunuh? hanya karena informasi sepihak menyebabkan pertumpahan darah sesama warga negara..
Iyo, sing mburi rak kowe to, moso lali?
@ dwinacute:
semoga tidak akan ada lagi kejadian semacam itu...
ampuuuuuuuuun saya tidak bersalah pak!!!! .... kabuuuuuuuuuuur
kan sebelumnya ada yang datang memprovokasi warsidi sehinga mempersenjatai diri oya senjatanya dari mana.ya dari ......
biasa itumah kerjaan sapa ayo.....
Kenapa harus ada pertumpahan darah sesama saudara? kejadian ini mengingatkan dengan kejadian jaman anaknya Adam yang bertikai hingga membunuh, masih ingat ya...
Semua berbalik lagi kepada masing2 diri untuk berpikir jernih, berhati nurani dan menyelesaikan segalanya dengan damai.
Ini sepertinya pemerintah orba masa lalu sangat fobia dengan kelompok2 yang menginginkan perubahan dan suksesi kepemerintahan, akhirnya ya itu.... penanganan menjadi overrepresif dan banyak terjadi korban yang tidak perlu.
Yang penting kini bagi kita adalah, apakah kita bisa belajar dari pengalaman pahit masa lalu?? Belajar dari banyak sudut, bukan hanya dari segi politik atau segi kemanusiaannya saja. Semoga saja, bangsa ini makin dewasa dan makin bijaksana dengan seiringnya banyaknya pengalaman2 yang dialami bangsa ini, bukan justru sebaliknya.....
ko seneng bgt berantem sih??
wah... kok serem tuh gambarnya kyk jaman PKI
semoga indonesia makin aman deh... gak seperti jaman dlu seremmm ahhh...
wah jaman orba masih byk yang ditutup - tutupi, sekarang juga mase, cuma sekarang pinter berdalih aja yang terlibat suatu tindakan..pst bilangnya atas dasar inilah, itulah.. :D
pdhl tindakan mereka salah tp ternyata ada dasarnya..lah dasar kok ngajarin yg engga bener :D
pelanggaran HAM, bumbunya orde baru..
Perang Saudara...
susah kalo negara multi culture kaya indonesia.. harus saling sabar..
Yap, seharusnya perbedaan pendapat tidak memicu timbulnya perpecahan ...
Ooo... begitu ya ceritanya. Menarik banget.
blog ini ternyata memang fokus sekali mengupas hal-ikhwal di tahun 80an. salut, mas joe.
soal peristiwa talangsari, saat ini saya agak apriori dengan catatan sejarah yang terjadi selama masa orba. alasannya tak lain karena sejarahs ering dimodifikasi sesuai kepentingan penguasa waktu itu. jadi entah catatan siapa yang paling bisa dipercaya.
Betul, susah sekali untuk menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar apabila sejarah suatu bangsa dibuat untu pembenaran bagi rezimnya, sehingga 'history' berubah menjadi 'his story'. Bagi kita hanyalah mengambil hikmah saja dari peristiwa tersebut, bahwa betapa pentingnya untuk saling menahan diri, agar darah tidak lagi tumpah di Bumi Pertiwi...
saling membela diri ya bro
saling membela diri ya bro
jadi inget nipah juga dan marsinah
kebenaran memang susah semua menginginkan kebenaran sesuai tafsirannnya sendiri alias sakpenakae udel...
kebenaran kan selalu ada di balik semua kebohongan :D
percayalah setiap hati manusia hanya mengatakan kebenaran tapi nafsu selalu mendustainya.
jangan lupakan jasa pahlawan :D
Kebenaran akan nampak jika dilandasi kejujuran
Tulisan yang bagus. Kebenaran memang mesti diwartakan. Saya juga baru menulis di blog tentang kekejaman penguasa Orde Baru yang terjadi di kampungku.
Wah untung di kampungku tidak terjadi yang seperti itu ...
info yg dq denger
sajam yg mreka gunakan
pake racun kodok
serreeemm...iiii
wauah..nyambung gak siih?
Racun kodok?
wah kejam nian tu aparat..
Posting Komentar