Selasa, 20 Januari 2009

Burung-Burung Manyar, Sebuah Pertanyaan Untuk Nasionalisme


Mengapa mesti diciptakan cinta, di antara orang-orang yang diciptakan tidak untuk bersatu? Tapi, mungkin justru di sinilah letak keindahan cinta. Bukankah cinta yang indah adalah cinta yang tidak memiliki? Begitulah. Cinta memang bukanlah sesuatu yang teramat sederhana.

Kalau kemudian Setadewa (Teto) memilih untuk menjadi anggota tentara KNIL, dia punya alasan yang kuat sebagai pembenaran, setidaknya bagi dirinya. Dengan menjadi tentara KNIL, meski dengan begitu dia harus memusuhi bangsanya sendiri: menjadi seorang pengkhianat, namun dia bisa mewujudkan ambisinya untuk membalas dendam terhadap Jepang. Kepada Jepanglah sesungguhnya selama ini dendamnya dia pendam. Ketika papinya, seorang Kapten KNIL, Brajabasuki ditangkap Jepang. Maminya, Marice yang seorang keturunan Belanda yang cantik cuma disediakan dua pilihan. Kapten Brajabasuki mati atau Marice bersedia menjadi gundik Jepang. Dan Marice memilih yang kedua.

Dan setiap pilihan selalu menghadirkan sebuah konsekuensi. Setadewa kemudian harus menyadari bahwa kemudian dia harus berseberangan dengan Larasati (Atik), prenjak yaitu lincah, cerdas, dan bersemangat. Sahabatnya sejak kecil yang kemudian dia harus akui bahwa dia mencintainya. Sebab Atik memilih untuk berdiri membela republik yang masih muda.

Ternyata pilihan Teto salah. Belanda kalah dan dia turut angkat kaki dari Indonesia, menjadi ahli komputer dan manajer produksi Pasific Oil Wells Company. Sedangkan Atik yang menunggu Teto tak kembali akhirnya menerima pinangan Janakatamsi, meski dia tak mencintai pria itu.

Romo Mangun membangun novel ini dengan cara yang tidak lazim. Dia tidak menjadikan seorang pahlawan sebagai perang utamanya, melainkan justru seorang anti-hero: Teto seorang pengkhianat bangsa yang jago berkelahi namun kalah dalam percintaan. Kalah, jika memang cinta dapat diukur sebagai sesuatu yang kalah dan yang menang. Kalah, jika dalam sebuah percintaan pengakuan sebagai pemenang diwujudkan dengan keberhasilan seseorang untuk menikahi seseorang yang dicintainya. Jika begitu mungkin Mayoor Verbruggen, seorang Mayor Belanda juga disebut sebagai orang yang kalah. Sebab dia juga begitu mencintai Marice, namun justru wanita pujaannya memilih menikah dengan Kapten Brajabasuki, yang Jawa.

Tapi persoalannya tidak berhenti begitu saja pada cinta. Di sini juga diceritakan bagaimana pergumulan batin Teto yang bergejolak. Pilihan Teto yang disesali Atik, yang menganggap sebagai kesalahan Teto, tidak bisa melepaskan masalah pribadi dari masalah negara. Teto sendiri menyadari bahwa pilihannya adalah sesuatu yang salah, namun setidaknya dia telah bersikap:dia memihak Belanda karena kecintaannya pada maminya. Di sini pengarang menyimbolisasikan bahwa Indonesia harus membangun sarang-sarang baru. Merumuskan kembali wujud masyarakat Indonesia dan menafsirkan nilai-nilai yang ada. Nasionalisme bagi Romo Mangun berarti penciptaan identitas Indonesia, penciptaan kembali nation building yang harus menyertakan berbagai kemungkinan, bahkan dari kutub yang paling ekstrem seperti peran pengkhianat sebagaimana yang tercermin dalam tokoh Teto.

Melalui tokoh Teto ini, Romo Mangun menafsirkan kembali nasionalisme dalam wilayah yang lebih luas. Teto merupakan simbol generasi Indonesia yang berdiri di dua kutub, lahir dalam kondisi kebudayaan campur, dua latar budaya, dan dua nilai. Merupakan sebuah generasi yang memiliki pribadi yang retak yang mencari jati diri, baik jati diri individual ataupun jati diri kebangsaan.

Dan Romo Mangun sengaja mengambil nama-nama tokoh wayang, namun konflik yang disajikan jauh melompati persoalan wayang. Tokoh-tokoh wayang dalam novel Burung-Burung Manyar merupakan pasemon yang menyimbolkan persoalan-persoalan mutakhir Indonesia. Romo Mangun berhasil menggunakan acuan wayang untuk menjelaskan motif, perilaku, dan konflik kejiwaan tokoh-tokoh protagonisnya.

Burung-Burung Manyar hanya salah satu dari sekian karya Romo Mangunwijaya. Novel yang pertama terbit di tahun 1981 ini pernah meraih penghargaan Sea Write Award dari Ratu Sirikit, Thailand dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. Berbicara tentang Romo Mangun adalah membicarakan manusia yang multidimensi. Di sisi lain dia adalah seorang sastrawan dengan karya-karyanya Romo Rahadi, Roro Mendut, Durga Umayi, Burung-Burung Rantau, Pohon Sesawi. Di suatu saat dia adalah seorang arstitek handal. Dia pernah mendapatkan penghargaan Agha Khan Award, yang merupakan penghargaan tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang, untuk rancangan pemukiman di tepi kali Code, Yogyakarta. Namun di suatu saat dia juga berdiri membela kalangan marginal, seperti dalam kasus Waduk Kedung Ombo.

Begitulah, ternyata persoalannya tidak berhenti pada cinta semata.

19 komentar:

Metropolis mengatakan...

cinta dua sisi.. nasionalisme atau kepentingan pribadi ?

joe mengatakan...

Akhirnya Teto lebih menuruti kehendak hatinya, meski kemudian dia menyesali pilihannya.
salam

Gita Sonya Margareta Soedjito mengatakan...

apapun yang terjadi, mungkin lebih ikhlasnya kalo kita isa belajar menerima bahwa sebuah keputusan adalah campur tangan kita dalam menetukan takdir kita sendiri,,biar kita tak larut dalam penyesalan, meski eksistensi penyesalan akan tetap ada di sepanjang kehidupan.... (Tjah Ajoe)

Anonim mengatakan...

ketika cinta harus memilih..

jalan sendiri kah atau untuk orang2 yg kita cintai di sekeliling kita??

joe mengatakan...

#Narumi:
Pada setiap keputusan yang kita ambil, selalu ada konsekuensinya, apa pun, baik atau buruk adalah tanggung jawab kita.
MU BGT!

joe mengatakan...

#an9el:
Kita memilih jalan kita, tetapi juga menimbang orang lain yang ada di sekitar kita. Karena pada dasarnya kita tidak bisa hidup sendiri, masih membutuhkan orang lain.
Salam

Anonim mengatakan...

Salam kenal... Nice blog

Anonim mengatakan...

Buku lama ya, pinjam bukunya dong...

Anonim mengatakan...

Kayake kalau melihat foto nya aku kenal deh!

joe mengatakan...

@Irish
Memang buku lama, tetapi masih banyak beredar di toko buku kok. Coba saja cari

Anonim mengatakan...

nice book... cinta tak harus memiliki, tapi kita memilih cinta yang sesungguhnya kita cintai dan layak untuk dicintai bukanlah suatu kekalahan. kalo aku, kubilang kita ga bisa bilang kalo teto kalah karena mingkin dia memang lebih mencintai kehormatan ibunya

joe mengatakan...

Sebenarnya cinta juga bukan masalah kalah dan menang kok. Aku ingat ada yang pernah bilang: When you love someone, you gotta learn to let them go
Salam...

Anonim mengatakan...

waduh...

one stop blogging mengatakan...

hidup memang harus memilih, walau kadang semua pilihannya tidak sesuai dengan keinginan kita ...

Anonim mengatakan...

Blog yang bagus sekali, dan tulisan yang bermutu. Salut.

andreas iswinarto mengatakan...

sisi lain mangunwijaya

Dari banyak segi dan aneka warna manusia Mangunwijaya, kerjanya dan panggilan hidupnya, barangkali agak kurang tajam disoroti Mangunwijaya dalam ‘Kebermainannya’, Sang Homo Ludens ini. Padahal sejatinya dari ‘kebermainan’ inilah kualitas dan citra kemanusiaan, kemerdekaan dan kesejatian dapat ditelusuri jejaknya.

Romo Mangun menulis di Kedung Ombo 6 Mei 1990 sebagai berikut :
“…. kebermainan manusia sangat erat hubungannya dengan spontanitas, autentisitas, aktualisasi dirinya secara asli menjadi manusia yang seutuh mungkin. Oleh karena itu ia menyangkut dunia dan iklim kemerdekaan manusia, pendewasaan dan penemuan sesuatu yang dihayati sebagai sejati. Bermain mengandung aspek kegembiraan, kelegaan, penikmatan yang intensif, bebas dari kekangan atau kedukaan, berporses emansipatorik; dan itu hanya tercapai dalam alam dan suasana kemerdekaan.
Manusia yang tidak merdeka tidak dapat bermain spontan, lepas, gembira, puas”.

(dari pengantar Mangunwijaya untuk buku Johan Huizinga Homo Ludens : Fungsi dan Hakekat Permainan Dalam Budaya, LP3ES 1990)

Mangun melalui Atik dalam novel Burung-burung Manyar mengungkapkan lebih jauh tentang penghayatan jati diri dan dimensi kualitas kemanusiaan ini yang menurut saya berangkat dari kebermainan sang homo ludens ini…

Silah kunjung
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/03/burung-burung-manyar-mangunwijaya-dalam.html

yenni 'yendoel' mengatakan...

wah, saya sudah baca beberapa kali. salah satu koleksi buku saya yg paling berharga, dan dibawa sampai ke china. banyak buku yg terpaksa gak kebawa. besok pagi mau bongkar dan baca lagi.resensinya bagus, joe!

joe mengatakan...

Betul, saya juga sudah baca novel ini berkali-kali dan tidak pernah bosan. Sebuah novel indah dari pengarang besar...

kokomo mengatakan...

lha dunlud-te...piye iki????