Selasa, 04 November 2008

WS Rendra, Si Burung Merak

Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
bagai bunyi tambur yang gaib,
Dan angin mendesah
mengeluh dan mendesah,
Wahai, dik Narti,
aku cinta kepadamu !
Kutulis surat ini
kala langit menangis
dan dua ekor belibis
bercintaan dalam kolam
bagai dua anak nakal
jenaka dan manis
mengibaskan ekor
serta menggetarkan bulu-bulunya,
Wahai, dik Narti,
kupinang kau menjadi istriku 


Dan dari cinta lahirlah puisi. Penggalan di atas ditulis saat WS Rendra sedang kasmaran dengan Sunarti Suwandi. Wanita yang kemudian dinikahi pada 31 Maret 1959, meski kemudian mereka harus berpisah. 

Lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935 sebagai Willibrordus Surendra Broto Rendra, bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an. Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.

WS Rendra mencurahkan sebagian besar hidupnya dalam dunia sastra dan teater. Menggubah sajak maupun membacakannya, menulis naskah drama sekaligus melakoninya sendiri, dikuasainya dengan sangat matang. Sajak, puisi, maupun drama hasil karyanya sudah melegenda di kalangan pecinta seni sastra dan teater di dalam negeri, bahkan di luar negeri.

Karya-karyanya yang berbau protes pada masa aksi para mahasiswa sangat aktif di tahun 1978, membuat pria ini pernah ditahan oleh pemerintah berkuasa saat itu. Demikian juga pementasannya, ketika itu tidak jarang dilarang dipentaskan. Seperti dramanya yang terkenal berjudul SEKDA dan Mastodon dan Burung Kondor dilarang untuk dipentaskan di Taman Ismail Marzuki.

Di samping karya berbau protes, Rendra juga sering menulis karya sastra yang menyuarakan kehidupan kelas bawah seperti puisinya yang berjudul Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan puisi Pesan Pencopet Kepada Pacarnya.

Banyak lagi karya-karyanya yang sangat terkenal, seperti Blues untuk Bonnie, Pamphleten van een Dichter, State of Emergency, Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api, Mencari Bapak. Bahkan di antara sajak-sajaknya ada yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris seperti Rendra: Ballads and Blues: Poems oleh Oxford University Press pada tahun 1974. Demikian juga naskah drama karyanya banyak yang telah dipentaskan, seperti Oedipus Rex, Kasidah Barzanji, Perang Troya Tidak Akan Meletus, dan lain sebagainya.

Untuk kegiatan seninya Si Burung Merak telah menerima banyak penghargaan, antara lain Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954) Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956); Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970); Hadiah Akademi Jakarta (1975); Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976) ; Penghargaan Adam Malik (1989); The S.E.A. Write Award (1996) dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).

1 komentar:

Anonim mengatakan...

WS Rendra memang jago...

btw, mas seneng baca puisi yah??